Nama : Dermas Takela
Nim : 3634.32
Prodi : Theologi
M. Kuliah : Tafsir PL III
KITAB
PENGKHOTBAH.
TEMA : KESIA-SIAAN HIDUP YANG TERLEPAS
DARI ALLAH
Tafsir Pasal
3:1-14;12:14
Pasal
3:1-14
“
ketidak adilan dalam hidup “
Dalam
ayatnya yang 1, kalimat “Masanya”: Mempunyai arti yang sama dengan waktunya
yang diatur oleh Allah “menurut saya, bahwa kalimat masanya ini menunjuk juga
pada bangsa Israel ketika dalam pembuangan maka dari hal tersebut menjadi
maksud tersendiri bagi penulis dalam hal ini kitab Pengkhotbah”. pada ayatnya
yang ketiga pula kalimat “Merobek”: Yakni mengartikan mengoyak pakaian, ialah
sehingga merujuk pada seseorang sedang berduka. “Menjahit”: Yakni menjahit
pakaian, tatkala kembalinya sesuatu pada semula. 3:9 Karena ketidak mampuan
manusia untuk mengatasi tentang “masanya” bagi sesuatu. Allah menciptakan
segala sesuatu indah pada waktunya (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31).
“Kekekalan”: Yakni hari kemudian yang masih jauh. Manusia memiliki suatu pemikiran
untuk yang kekal, namun tidak ketahui hal kekekalan itu; yang mengungkapkan
keterbatasannya akal manusia. 3:12-13 Apabila manusia tidak tahu perbuatan
Allah sejak semula sampai pada kesudahan, tidak ada yang lebih baik daripada
melakukan kebajikan semasa hidupnya, dan menikmati hasil dari apa yang ia
lakukan dengan jerih payahnya. 3:14 Segala sesuatu yang dilakukan Allah tetap
akan ada untuk selamanya dan sempurna adanya. Oleh sebab itu manusia harus
percaya serta mentaati Dia. 3:15 “Allah mencari yang sudah lalu”: Atau
diterjemahkan menjadi “Allah akan mencari kembali bangi yang sudah terusir”.
Walaupun tidak ada sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia (1:9-11), namun
Allah akan mencari kembali sesuatu yang sudah lalu dan menghakiminya (12:14).
Takutlah Akan Allah (12:1-8)
Akhirnya kita siap untuk
melihat-melewati segala kesia-siaan duniawi, kepada Allah yang telah membuat
kita bagi diriNya sendiri; kalau kita memang ingin melihat. Gelar Pencipta
telah dipilih dengan tepat. Itu mengingatkan kita melalui bagian-bagian
sebelumnya dalam kitab ini, bahwa hanya Dialah yang melihat pola hidup itu
dengan lengkap, bahwa buah karyaNyalah yang telah kita rusak dengan
‘dalih-dalih’ kita (7:29), dan bahwa kreativitasNya terus berlangsung dan tidak
dapat kita ketahui.
Bagi kita, mengingat akan
Dia bukan berarti sesuatu yang dapat dilakukan secara sepele atau melulu suatu
pekerjaan mental, melainkan membuang segala anggapan seolah-olah kita dapat
mencukupi dirinya sendiri, dan kemudian menyerahkan diri secara mutlak kepada
Dia. Dalam intepretasinya yang paling baik dan paling kuat, maka mengingat
berarti kesetiaan dengan segenap hati, suatu loyalitas yang sama dalamnya
seperti loyalitas pemazmur terhadap tanah airnya. Kalau mengingat mempunyai
arti yang sedalam itu, mustahilah kita bisa berterima sikap ynag
setengah-setengah atau angin-anginan. Pada permulaan dan akhir bagian ini
Pengkhotbah menulis dengan langsung tanpa kiasan. Kita mendengar nada-nada khas
bagi usia lanjut dalam kata-kata penuh kekecewaan. Tak ada kesenangan bagiku
di dalamnya (ay.1) dan dalam ayat 7 kita diingatkan kepada hukuman Allah
atas Adam: “Engkau akan kembali menjadi debu”. Teapi di antara kedua kalimat
inibanyak lukisan dan beberapa segi dari proses ketuaan dan kematian. Sedang
yang lain menggoda kita dengan bayangan-bayangan, yang karena samar-samarnya
hampir tidak bisa kita tangkap artinya, sementara membangkitkan dalam diri kita
jiwa seorang penyair.
Angin musim dingin dalam ayat 2,
hujan turun terus menerus dan awan meredupkan terang matahari, kemudian malam
menjadi gelap gulita. Yakni cuaca di musim dingin di Palestina (musim hujan).
Yang menunjukkan suatu masa depan yang suram. Suatu gamabaran yang muram
sekali, yang bukan saja menyampaikan kesan kemunduruan kekuatan fisik dan
mental, tapi juga dan terutama kemorosotan usia lanjut pada umumnya. Banyak
terang yang cenderung akan sirna, di samping terang dari panca indra dan
kemampuan-kemampuan lain yang berangsur-angsur menurun, sementara itu satu demi
satu sahabat-sahabat lama meninggal, kebiasaan-kebiasaan berubah, dan
harapan-harapan yang sudah lama dianut harus dilepaskan.
Pada masa muda dan selama
sebagiab besar dari hidup kita, kesukaran dan sakit hanya merupakan kemunduran
bukan malapetaka. Orang masih dapat mengharapkan langit akan cerah kembali.
Sukar seklai untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ditulis pada bagian akhir
hidup yang panjang ini, yaitu: menyadari bahwa pada tahap akhir perjalanan
hidup ini tidak ada pemulihan lagi. Hanya pada usia muda, bukan pada usia tua,
kenyataan yang tidak kenal ampun ini dapat dihadapi dengan sukses, jika hal-hal
demikian mendorong kita untuk menyampaikan respon total kepada Allah, yang
merupakan pokok dari ayat 1. Jadi bukan mendorong kita untuk berputus asa
menjerumuskan kita ke dalam penyeselan yang sia-sia.
Dalam ayat 3 dan 4a, gambarannya
berubah. Di sini bukan lagi kegelapan, badai dan musim dingin, melainkan sebuah
rumah besar yang mulai rubuh. Keagungan, gaya, kehidupan, dan keramahannya
sekarang hanya dapat diduga dari kontrasnya dengan sisa-sisanya yang sedikit
dan amat menawarkan hati itu. Pergumulan yang gigih namun sia-sia untuk bisa
bertahan, lebih tajam menunjuk pada kemunduran daripada sesuatu yang sudah
menjadi puing. Itu masih tetap merupakan bagian dari situasi dan kondisi kita.
kita berhadap-hadapan dengan masa depan kita sendiri, dan kita tidak
mungkin menghindarkan keterlibatan dengan sesuatu yang pasti akan kita alami
juga.
Gambaran ini harus dilihat dalam
keseluruhannya. Jangan dilihat dalam metafora-metafora rinci sebagai tangan,
kaki, gigi dan sebagainya, hal-hal mana memang terkandung di dalamnya,
seakan-akan penulis kurang berhasil memberikan ekspresi pada jalan pikirannya.
“Penjaga-penjaga rumah gementar”: Rumah mengumpamakan tubuh orang,
penjaga-penjaga rumah menunjukkan kedua tangan, mengumpamakan tangan orang tua
yang tidak bertenaga dan gementar.
·
“Orang-orang kuat
membungkuk”: Mengumpamakan bengkok/lengkungnya pinggang (atau dikatakan dada).
·
“Penggiling berhenti
kerana berkurang jumlahnya”: Mengumpamakan kerontokan gigi.
·
“Jendela”: Menunjukkan
jendela roh – mata.
Tapi pada paruhan ayat 4,
metodenya berubah, sementara suanananya masih tetap. “Pintu-pintu di tepi
jalan”: Mengumpamakan kedua telinga yang mendengar berita-berita dari luar.
·
“Bunyi penggilingan
menjadi lemah”: Kerana gugurnya gigi, suara bicara menjadi tidak jelas.
·
“Burung berkicau, orang menjadi bangun”:
(Keterangan: terdapat sedikit kelainan dengan terjemahan dalam bahasa
Indonesia), yakni mengumpamakan orang tua tidak dapat tidur lelap/tidur ayam.
·
“Semua penyanyi perempuan tunduk”:
Mengumpamakan merendahnya suara orang tua.
Yang kita lihat bukan lagi satu
bagan tunggal melainkan metafora-metafora khusus yang terpisah-pisah, dan
karena itu harus diteiliti secara tersendiri. Ayat 4b, menunjuk pada keadaan
usia tua. Pada usia ini dunia dengan segala kenikmatannya menjadi jauh dan
remang-remang. Orang tudak lagi bisa merasa berperan di dalamnya karena dia
sudah mulai tuli.
Dalam ayat 5, kita lihat
segi-segi lain pada gambaran yang diberukan. Pertama pengamatannya atas
ketakutan orang tua akan terjatuh, atau terdesak karena beridirinya kurang
mantap dan jalannya lamban; kemudian disusul dengan beberapa metafora yang memancing
pemikiran; dan akhirnya dengan gamabaran sekilas tentang upacara pemakaman. Pohon
badam, maksudnya ialah rambut yang memutih, yang seperti warna pohon ini
berubah dari gelap menjadi putih pucat jika berbunga sehabis musim dingin.
Pohon badam dalam bahasa Ibrani yang mempunyai arti kesadaran, sebab bagi pohon
badam di Palestina yang lebih cepat/lebih dulu bertunas dan berkembang dari
pepohonan lainnya di akhir musim dingin). Sama seperti belalang yang
biasanya lincah dan teapt itu, menyeret dirinya, demikian pula sang pemuda
kalau sudah menjadi tua akan berjalan kaku dan lambat.
Nafsu makan tak dapat
dibangkitkan lagi, dengan cara apapun. pada ayat 5, melukiskan gambaran
yang diselingi dengan pembicaraan tentang ujung perjalanan orang dan tentang
peayanan terakhir teman-temannya, yang baginya tidak berguna lagi. Ungkapan rumahnya
yang kekal hanya berarti ‘finalitas’, bukan harapan kristiani akan suatu
tempat kediaman yang kekal yang dibaut oleh tangan manusia.
Yang sangat menarik ialah
gambaran-gambaran dari ayat 6, yang menunjuk pada keindahan dan kerapuhan tubuh
manusia; karya seni yang dikerjakan dengan hati-hati dan rinci, tapi mudah
pecah seperti barang tembikar dan tidak berguna pada akhirnya, seperti roda
timba yang telah patah. Yang digambarkan dalam bagian pertama ayat ini mungkin
lampu emas yang tergantung pada rantai perak, yang dengan patahnya satu mata
rantai saja akan membuat lampu itu jatuh dan rusak. Tempayan dihancurkan
dekat mata air, artinya setiap perjalanan ada akhirnya, setiap usaha akan
berhenti.
Dalam ayat 7, kita diingatkan
kepada tragedi yang menanti di balik segala sesuatu, yaitu: engkau debu dan
akan kembali menjadi debu. Dengan ini penulis sekali lagi mengingatkan kita
pada kejatuhan manusia ke dalam dosa. Bahwa kesalahan kita sendiri yang
menyebabkan keadaan kita sekarang ini, ini sudah dikatakannya dalam 7:19:
“Bahwa Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak
dalih”. Dan kalau pendengaran kita menangkap suara yang menimbulkan harapan
pada akhir ayat 7, ….”dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya,
maka kita mendengar lebih banyak daripada maksud qohelet. Dengan kata lain,
bukan kita yang menguasai hidup. Tubuh akan kembali pada unsur-unsurnya,
Allahlah yang memberi dan mengambil napas hidup.
Dalam ayat 8, dengan pengalaman
seluruh kitab sudah dibelakang kita, akhirnya dengan gambaran-gambaran yang
menghantui dari pasal ini mengarisbawahinya, kita pun kembali pada seruan
semula. kesia-siaan atas kesia-siaan, dan mengakui kebenarannya. Dalam
penyelidikan kita, tidak ada yang dapat membuat kita betah, tidak ada dari
antara segala sesuatu yang ditawarkan di bawah matahari yang bisa menjadi
sesuatu untuk kita miliki.
Tapi janganlah lupa pada konteksnya,
ayat-ayat ini justru menunjuk pada sesuatu di atas segala yang ‘di bawah
matahari’ dalam kata Penciptamu. Dan kita dipanggil untuk menjawab Dia.
Kita juga dihadapkan pada masa kini yaitu masa kesempatan.
-
Menjadi Berhikmat/pengajar (12:9-12)
Kata-kata pembukaannya
menunjukkan kombinasi antara berpikir dan menyatakan, menyelidiki dan mengajar,
seperti dibuktikan secara nyata oleh kitab ini sendiri. apa yang menonjol dari
kedua ayat ini ialah qohelet menganggap pekerjaan mengajar itu penting sekali.
Seperti yang dikatakan dalam ayat 10, maka menunaikan tugas mengajar itu
seorang harus memiliki kemahiran dan integritas, keberanian, dan keramahan yang
memukau dari seorang seniman atau ilmuan. Ada dua kualitas yang merupakan ciri
ucapan berbobot orang berhikmat: kata-kata merangsang kemauan dan melekat dalam
ingatan. Dengan pernyataan ini qohelet sebagai guru memuji hikmat agung yang
terbesar yaitu Tuhan.
Ayat 11, kata Kusa”: Suatu
tongkat penghalau lembu (Hak 3:31). Firman Allah bagaikan kuasa, yang bermafaat
untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran (II Tim 3:15-17). “Paku-paku yang
tertancap”: Yang bermakna memiliki suatu ketetapan/ketentuan dengan kekuasaan
(Mzm 19:7; 119:89). Yang penting di atas segala-galanya ialah ucapan-ucapan itu
beribawa. Meski penuh variasi dan kemanusiaan, ucapan-ucapan itu adalah yang
diberikan Allah kepada orang berhikmat. Nama kedua bagi Allah, yaitu Gembala,
melengkapi gelar yang mulia yaitu Penciptamu. Allah mengenal dan dapat
dikenal. Dia berbicara kepada kita dengan suara manusia, tapi suaranya
berdaulat. Namun demikian ayat 12, ajaran yang demikian bukan senantiasa
disukai. Kita dapat menjadi pecandu riset itu sendiri, jatuh cinta pada
persoalan-persoalan. Inilah penyakit yang sering mengancam kaum cendikiawan,
pemikir, ilmuan, dll.
Akhir
Perjalanan (12:13-14)
Dalam ayat-ayat ini menunjuk
kepada Allah. Inilah tujuan untuk mana kita diciptakan: yang kekal, yang dari
awalnya dimaksudkan sebagai tempat bermukim dan berlabuh “kekekalan dalam hati
manusia” (3:11). Kalimat ‘karena ini adalah kewajiban setiap orang’
dalam bahasa Ibrani berbunyi: “inilah segala-galanya yang ada pada manusia”.
Tapi, segala-galanya di sini bertentangan secara diametral dengan kesia-siaan,
yang tadinya dihadapkan kepada kita dalam kitab ini. Di sini kita pada akhirnya
menemukan kenyataan dari diri kita sendiri.
Kata takut akan Allah,
menempatkan kita pada kedudukan yang sesungguhnya, dan menempatkan segala
ketakutan lainnya, harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi pada tempat yang
sewajarnya. Jika Allah memperhatikan segala-galanya, maka tidak ada sesuatu pun
yang tidak ada maknanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar