Rabu, 16 November 2016

Tafsir pengkhotbah pasal 3 dan 12. Mr. Dermas

Nama : Dermas Takela
Nim                : 3634.32
Prodi              : Theologi
M. Kuliah       : Tafsir PL III
Dosen             : Wance L, M.Th        


KITAB PENGKHOTBAH.
TEMA       : KESIA-SIAAN HIDUP YANG TERLEPAS DARI   ALLAH
Tafsir Pasal 3:1-14;12:14
Pasal 3:1-14
“ ketidak adilan dalam hidup “
Dalam ayatnya yang 1, kalimat “Masanya”: Mempunyai arti yang sama dengan waktunya yang diatur oleh Allah “menurut saya, bahwa kalimat masanya ini menunjuk juga pada bangsa Israel ketika dalam pembuangan maka dari hal tersebut menjadi maksud tersendiri bagi penulis dalam hal ini kitab Pengkhotbah”. pada ayatnya yang ketiga pula kalimat “Merobek”: Yakni mengartikan mengoyak pakaian, ialah sehingga merujuk pada seseorang sedang berduka. “Menjahit”: Yakni menjahit pakaian, tatkala kembalinya sesuatu pada semula. 3:9 Karena ketidak mampuan manusia untuk mengatasi tentang “masanya” bagi sesuatu. Allah menciptakan segala sesuatu indah pada waktunya (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). “Kekekalan”: Yakni hari kemudian yang masih jauh. Manusia memiliki suatu pemikiran untuk yang kekal, namun tidak ketahui hal kekekalan itu; yang mengungkapkan keterbatasannya akal manusia. 3:12-13 Apabila manusia tidak tahu perbuatan Allah sejak semula sampai pada kesudahan, tidak ada yang lebih baik daripada melakukan kebajikan semasa hidupnya, dan menikmati hasil dari apa yang ia lakukan dengan jerih payahnya. 3:14 Segala sesuatu yang dilakukan Allah tetap akan ada untuk selamanya dan sempurna adanya. Oleh sebab itu manusia harus percaya serta mentaati Dia. 3:15 “Allah mencari yang sudah lalu”: Atau diterjemahkan menjadi “Allah akan mencari kembali bangi yang sudah terusir”. Walaupun tidak ada sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia (1:9-11), namun Allah akan mencari kembali sesuatu yang sudah lalu dan menghakiminya (12:14).

Takutlah Akan Allah (12:1-8)

        Akhirnya kita siap untuk melihat-melewati segala kesia-siaan duniawi, kepada Allah yang telah membuat kita bagi diriNya sendiri; kalau kita memang ingin melihat. Gelar Pencipta telah dipilih dengan tepat. Itu mengingatkan kita melalui bagian-bagian sebelumnya dalam kitab ini, bahwa hanya Dialah yang melihat pola hidup itu dengan lengkap, bahwa buah karyaNyalah yang telah kita rusak dengan ‘dalih-dalih’ kita (7:29), dan bahwa kreativitasNya terus berlangsung dan tidak dapat kita ketahui.

        Bagi kita, mengingat akan Dia bukan berarti sesuatu yang dapat dilakukan secara sepele atau melulu suatu pekerjaan mental, melainkan membuang segala anggapan seolah-olah kita dapat mencukupi dirinya sendiri, dan kemudian menyerahkan diri secara mutlak kepada Dia. Dalam intepretasinya yang paling baik dan paling kuat, maka mengingat berarti kesetiaan dengan segenap hati, suatu loyalitas yang sama dalamnya seperti loyalitas pemazmur terhadap tanah airnya. Kalau mengingat mempunyai arti yang sedalam itu, mustahilah kita bisa berterima sikap ynag setengah-setengah atau angin-anginan. Pada permulaan dan akhir bagian ini Pengkhotbah menulis dengan langsung tanpa kiasan. Kita mendengar nada-nada khas bagi usia lanjut dalam kata-kata penuh kekecewaan. Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya (ay.1) dan dalam ayat 7 kita diingatkan kepada hukuman Allah atas Adam: “Engkau akan kembali menjadi debu”. Teapi di antara kedua kalimat inibanyak lukisan dan beberapa segi dari proses ketuaan dan kematian. Sedang yang lain menggoda kita dengan bayangan-bayangan, yang karena samar-samarnya hampir tidak bisa kita tangkap artinya, sementara membangkitkan dalam diri kita jiwa seorang penyair.

        Angin musim dingin dalam ayat 2, hujan turun terus menerus dan awan meredupkan terang matahari, kemudian malam menjadi gelap gulita. Yakni cuaca di musim dingin di Palestina (musim hujan). Yang menunjukkan suatu masa depan yang suram. Suatu gamabaran yang muram sekali, yang bukan saja menyampaikan kesan kemunduruan kekuatan fisik dan mental, tapi juga dan terutama kemorosotan usia lanjut pada umumnya. Banyak terang yang cenderung akan sirna, di samping terang dari panca indra dan kemampuan-kemampuan lain yang berangsur-angsur menurun, sementara itu satu demi satu sahabat-sahabat lama meninggal, kebiasaan-kebiasaan berubah, dan harapan-harapan yang sudah lama dianut harus dilepaskan.

        Pada masa muda dan selama sebagiab besar dari hidup kita, kesukaran dan sakit hanya merupakan kemunduran bukan malapetaka. Orang masih dapat mengharapkan langit akan cerah kembali. Sukar seklai untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ditulis pada bagian akhir hidup yang panjang ini, yaitu: menyadari bahwa pada tahap akhir perjalanan hidup ini tidak ada pemulihan lagi. Hanya pada usia muda, bukan pada usia tua, kenyataan yang tidak kenal ampun ini dapat dihadapi dengan sukses, jika hal-hal demikian mendorong kita untuk menyampaikan respon total kepada Allah, yang merupakan pokok dari ayat 1. Jadi bukan mendorong kita untuk berputus asa menjerumuskan kita ke dalam penyeselan yang sia-sia.

        Dalam ayat 3 dan 4a, gambarannya berubah. Di sini bukan lagi kegelapan, badai dan musim dingin, melainkan sebuah rumah besar yang mulai rubuh. Keagungan, gaya, kehidupan, dan keramahannya sekarang hanya dapat diduga dari kontrasnya dengan sisa-sisanya yang sedikit dan amat menawarkan hati itu. Pergumulan yang gigih namun sia-sia untuk bisa bertahan, lebih tajam menunjuk pada kemunduran daripada sesuatu yang sudah menjadi puing. Itu masih tetap merupakan bagian dari situasi dan kondisi kita. kita berhadap-hadapan dengan  masa depan kita sendiri, dan kita tidak mungkin menghindarkan keterlibatan dengan sesuatu yang pasti akan kita alami juga.

        Gambaran ini harus dilihat dalam keseluruhannya. Jangan dilihat dalam metafora-metafora rinci sebagai tangan, kaki, gigi dan sebagainya, hal-hal mana memang terkandung di dalamnya, seakan-akan penulis kurang berhasil memberikan ekspresi pada jalan pikirannya. “Penjaga-penjaga rumah gementar”: Rumah mengumpamakan tubuh orang, penjaga-penjaga rumah menunjukkan kedua tangan, mengumpamakan tangan orang tua yang tidak bertenaga dan gementar.

·                     “Orang-orang kuat membungkuk”: Mengumpamakan bengkok/lengkungnya pinggang (atau dikatakan dada).
·                     “Penggiling berhenti kerana berkurang jumlahnya”: Mengumpamakan kerontokan gigi.
·                     “Jendela”: Menunjukkan jendela roh – mata.

        Tapi pada paruhan ayat 4, metodenya berubah, sementara suanananya masih tetap. “Pintu-pintu di tepi jalan”: Mengumpamakan kedua telinga yang mendengar berita-berita dari luar.

·         “Bunyi penggilingan menjadi lemah”: Kerana gugurnya gigi, suara bicara menjadi tidak jelas.
·          “Burung berkicau, orang menjadi bangun”: (Keterangan: terdapat sedikit kelainan dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia), yakni mengumpamakan orang tua tidak dapat tidur lelap/tidur ayam.
·          “Semua penyanyi perempuan tunduk”: Mengumpamakan merendahnya suara orang tua.

        Yang kita lihat bukan lagi satu bagan tunggal melainkan metafora-metafora khusus yang terpisah-pisah, dan karena itu harus diteiliti secara tersendiri. Ayat 4b, menunjuk pada keadaan usia tua. Pada usia ini dunia dengan segala kenikmatannya menjadi jauh dan remang-remang. Orang tudak lagi bisa merasa berperan di dalamnya karena dia sudah mulai tuli.

        Dalam ayat 5, kita lihat segi-segi lain pada gambaran yang diberukan. Pertama pengamatannya atas ketakutan orang tua akan terjatuh, atau terdesak karena beridirinya kurang mantap dan jalannya lamban; kemudian disusul dengan beberapa metafora yang memancing pemikiran; dan akhirnya dengan gamabaran sekilas tentang upacara pemakaman. Pohon badam, maksudnya ialah rambut yang memutih, yang seperti warna pohon ini berubah dari gelap menjadi putih pucat jika berbunga sehabis musim dingin. Pohon badam dalam bahasa Ibrani yang mempunyai arti kesadaran, sebab bagi pohon badam di Palestina yang lebih cepat/lebih dulu bertunas dan berkembang dari pepohonan lainnya di akhir musim dingin). Sama seperti belalang yang biasanya lincah dan teapt itu, menyeret dirinya, demikian pula sang pemuda kalau sudah menjadi tua akan berjalan kaku dan lambat.

        Nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi, dengan cara apapun. pada ayat 5, melukiskan gambaran yang diselingi dengan pembicaraan tentang ujung perjalanan orang dan tentang peayanan terakhir teman-temannya, yang baginya tidak berguna lagi. Ungkapan rumahnya yang kekal hanya berarti ‘finalitas’, bukan harapan kristiani akan suatu tempat kediaman yang kekal yang dibaut oleh tangan manusia.

        Yang sangat menarik ialah gambaran-gambaran dari ayat 6, yang menunjuk pada keindahan dan kerapuhan tubuh manusia; karya seni yang dikerjakan dengan hati-hati dan rinci, tapi mudah pecah seperti barang tembikar dan tidak berguna pada akhirnya, seperti roda timba yang telah patah. Yang digambarkan dalam bagian pertama ayat ini mungkin lampu emas yang tergantung pada rantai perak, yang dengan patahnya satu mata rantai saja akan membuat lampu itu jatuh dan rusak. Tempayan dihancurkan dekat mata air, artinya setiap perjalanan ada akhirnya, setiap usaha akan berhenti.

        Dalam ayat 7, kita diingatkan kepada tragedi yang menanti di balik segala sesuatu, yaitu: engkau debu dan akan kembali menjadi debu. Dengan ini penulis sekali lagi mengingatkan kita pada kejatuhan manusia ke dalam dosa. Bahwa kesalahan kita sendiri yang menyebabkan keadaan kita sekarang ini, ini sudah dikatakannya dalam 7:19: “Bahwa Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih”. Dan kalau pendengaran kita menangkap suara yang menimbulkan harapan pada akhir ayat 7, ….”dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya, maka kita mendengar lebih banyak daripada maksud qohelet. Dengan kata lain, bukan kita yang menguasai hidup. Tubuh akan kembali pada unsur-unsurnya, Allahlah yang memberi dan mengambil napas hidup.

        Dalam ayat 8, dengan pengalaman seluruh kitab sudah dibelakang kita, akhirnya dengan gambaran-gambaran yang menghantui dari pasal ini mengarisbawahinya, kita pun kembali pada seruan semula. kesia-siaan atas kesia-siaan, dan mengakui kebenarannya. Dalam penyelidikan kita, tidak ada yang dapat membuat kita betah, tidak ada dari antara segala sesuatu yang ditawarkan di bawah matahari yang bisa menjadi sesuatu untuk kita miliki.

        Tapi janganlah lupa pada konteksnya, ayat-ayat ini justru menunjuk pada sesuatu di atas segala yang ‘di bawah matahari’ dalam kata Penciptamu. Dan kita dipanggil untuk menjawab Dia. Kita juga dihadapkan pada masa kini yaitu masa kesempatan.

-        Menjadi Berhikmat/pengajar (12:9-12)

        Kata-kata pembukaannya menunjukkan kombinasi antara berpikir dan menyatakan, menyelidiki dan mengajar, seperti dibuktikan secara nyata oleh kitab ini sendiri. apa yang menonjol dari kedua ayat ini ialah qohelet menganggap pekerjaan mengajar itu penting sekali. Seperti yang dikatakan dalam ayat 10, maka menunaikan tugas mengajar itu seorang harus memiliki kemahiran dan integritas, keberanian, dan keramahan yang memukau dari seorang seniman atau ilmuan. Ada dua kualitas yang merupakan ciri ucapan berbobot orang berhikmat: kata-kata merangsang kemauan dan melekat dalam ingatan. Dengan pernyataan ini qohelet sebagai guru memuji hikmat agung yang terbesar yaitu Tuhan.

        Ayat 11,  kata Kusa”: Suatu tongkat penghalau lembu (Hak 3:31). Firman Allah bagaikan kuasa, yang bermafaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (II Tim 3:15-17). “Paku-paku yang tertancap”: Yang bermakna memiliki suatu ketetapan/ketentuan dengan kekuasaan (Mzm 19:7; 119:89). Yang penting di atas segala-galanya ialah ucapan-ucapan itu beribawa. Meski penuh variasi dan kemanusiaan, ucapan-ucapan itu adalah yang diberikan Allah kepada orang berhikmat. Nama kedua bagi Allah, yaitu Gembala, melengkapi gelar yang mulia yaitu Penciptamu. Allah mengenal dan dapat dikenal. Dia berbicara kepada kita dengan suara manusia, tapi suaranya berdaulat.  Namun demikian ayat 12, ajaran yang demikian bukan senantiasa disukai. Kita dapat menjadi pecandu riset itu sendiri, jatuh cinta pada persoalan-persoalan. Inilah penyakit yang sering mengancam kaum cendikiawan, pemikir, ilmuan, dll.

       Akhir Perjalanan (12:13-14)

        Dalam ayat-ayat ini menunjuk kepada Allah. Inilah tujuan untuk mana kita diciptakan: yang kekal, yang dari awalnya dimaksudkan sebagai tempat bermukim dan berlabuh “kekekalan dalam hati manusia” (3:11). Kalimat ‘karena ini adalah kewajiban setiap orang’ dalam bahasa Ibrani berbunyi: “inilah segala-galanya yang ada pada manusia”. Tapi, segala-galanya di sini bertentangan secara diametral dengan kesia-siaan, yang tadinya dihadapkan kepada kita dalam kitab ini. Di sini kita pada akhirnya menemukan kenyataan dari diri kita sendiri.

        Kata takut akan Allah, menempatkan kita pada kedudukan yang sesungguhnya, dan menempatkan segala ketakutan lainnya, harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi pada tempat yang sewajarnya. Jika Allah memperhatikan segala-galanya, maka tidak ada sesuatu pun yang tidak ada maknanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar